PASAR CIPUTAT, TANGGERANG SELATAN.
Aku terduduk dalam sunyi, di halte yang kosong dan sedikit tua. Anjing-anjing melolong di emperan jalan. Seorang anak kecil menari ria, gembira di depan toko, selalu menari setiap kali badut-badut pengamen itu datang. Anak-anak di sudut emperan jalan tertidur di depan gerobak milik ayahnya. Kontras sosial ini selalu jadi abu-abu, atau bahkan hitam legam, buat warna kehidupan gue untuk saat ini!
Sial, bajingan, itu teriakan resah dalam hati gue. Aduh, rasa-rasanya memang begitu. Di usia yang hampir menginjak dua puluh lima, atau bahkan tujuh tahun menjelang usia tiga puluh, selalu dihantui bayangan "Nanti jadi apa?"
Hadeuh, mau sampai kapan coba kayak gini? Enggak tahu lagi apa yang kudu dikorbankan antara mimpi untuk bercita-cita mengejar cinta dan menikah terus bahagia, atau membunuh mimpi gue menjadi manusia?
Sialnya, kenapa nasib buruk seperti ini selalu saja terus menghantui, padahal kalau dibilang di sini, cuma gue yang bertahan dalam ketidakberuntungan ini.
Lamunan nya semakin liar, mencabik nurani, menikam tirani gemerlap sorot lampu mobil mewah, memecah bising tuan muda yang mencuci tangan dengan vodka dan air premium dalam botol kecil ukuran 450 ml.
Komentar
Posting Komentar